PERKEMBANGAN MORAL dan KEPRIBADIAN
A.
PERKEMBANGAN MORAL
Moral
berkenaan dengan perilaku baik atau buruk pada seseorang. Pendidikan SD tidak
sekedar bertujuan untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia yang cerdas, tetapi juga manusia yang baik. Pada bagian
ini, Anda akan mempelajari aspek
perkembangan moral yang meliputi pembahasan mengenai pengertian dan manfaat
mempelajari perkembangan moral anak, pola perkembangan moral menurut Kolhberg,
serta faktor dan cara mempelajari sikap moral khususnya pada peserta didik usia
SD/MI. Dalam mempelajari perkembangan moral, Anda dibantu dengan media video
sehingga pembelajaran diharapkan menjadi lebih jelas dan terpahami dengan baik.
1.
Pengertian dan Manfaat
Moral
berasal dari kata Latin ”mores” yang berarti tatacara, kebiasaan, dan adat.
Perilaku sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok
sosial, yang dikendalikan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral
ialah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi angota suatu budaya.
Konsep moral inilah yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh
anggota kelompok. Menurut Piaget
(Sinolungan, 1997), hakikat moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati
sistem peraturan.
Selanjutnya,
Kohlberg (Gunarsa, 1985) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang
tidak dibawa dari lahir, tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat
diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses internalisasi
nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan kemampuan seseorang dalam
menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan
moral mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik/buruk atau
benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral mengenai bagaimana
cara pengetahuan moral itu dipraktekan.
Disamping
perilaku moral, ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai
dengan harapan sosial karena sikap tidak setuju dengan standar sosial yang
berlaku atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri; serta perilaku
amoral atau nonmoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial
karena ketidakacuhan atau pelanggaran terhadap standar kelompok sosial. Sikap
adalah perilaku yang berisi pendapat tentang sesuatu. Dalam sikap positif tersirat
sistem nilai yang dipercayai atau diyakini kebenarannya. Nilai adalah suatu
yang diyakini, dipercaya, dan dirasakan serta diwujudkan dalam sikap atau
perilaku. Biasanya, nilai bermuatan pengalaman emosional masa lalu yang
mewarnai cita-cita seseorang, kelompok atau masyarakat.
Moral
merupakan wujud absrak dari nilai-nilai, dan tampil secara nyata/konkret dalam
perilaku terbuka yang dapat diamati. Sikap moral muncul dalam praktek moral
dengan kategori positif/menerima, netral, atau negatif/menolak. Anak yang
bersikap positif atau menerima nilai-nilai moral, diekspresikan dalam perilaku
yang bersimpati dalam berinteraksi dengan nilai dan orang di sekitarnya,
seperti mau menerima, mendukung, peduli, dan berpartisipasi dalam kegiatan
kelompok. Sikap moral yang netral diekspresikan dalam perilaku sikap tidak
memihak (mendukung atau menolak) terhadap nilai yang ada di masyarakat. Sikap
moral yang negatif diekspresikan dalam perilaku menolak yang diwarnai emosi dan
sikap negatif seperti kecewa, kesal, marah, benci, bermusuhan, dan menentang,
terhadap nilai moral yang ada di masyarakat.
Pada
sikap dan perilaku moral tersirat nilai-nilai yang dianut berkaitan dengan
nilai mengenai sesuatu yang dikatakan baik dan benar, patut, dan seharusnya
terjadi. Sikap moral sebagian besar diteruskan dari generasi ke generasi
melalui proses pendidikan seumur hidup. Ada nilai-nilai yang perlu
dipertahankan, ada yang diasimilasi ke arah kemajuan atau perubahan progresif,
tetapi ada juga yang berubah atau bergeser karena berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Sebagai guru, Anda perlu memahami perkembangan sikap moral
agar dapat membantu peserta didik
mengembangkan sikap moral yang dikehendaki, mendidik peserta didik menjadi anak
yang baik, dan bersikap moral secara baik dan benar.
2.
Pola Perkembangan Moral
Dalam
mempelajari perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah, Piaget
(Sinolungan, 1997) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan
kajiannya pada aturan dalam permainan anak. 1. Fase absolut, di mana anak menghayati
peraturan sebagai ssesuatu hal yang mutlak, tidak dapat diubah, karena berasal
dari otoritas yang dihormati (orang tua, guru, anak yang lebih berkuasa). 2.
Fase realistis, di mana anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan
orang lain. Dalam permainan, anak menaati aturan yang disepakati bersama
sebagai suatu kenyataan/realitas yang dapat diubah asal disetujui bersama. 3.
Fase subjektif, di mana anak memperhatikan motif atau kesengajaan dalam
penilaian perilaku, anak menaati aturan agar terhindar dari hukuman, kemudian
memahami aturan dan gembira mengembangkan serta menerapkannya. Dalam teori
perkembangan moralnya, Kohlberg (Gunarsa, 1985) mengemukakan tiga tingkat
dengan enam tahap perkembangan moral.
a. Tingkat 1: Prakonvensional. Pada tingkat
ini aturan berisi ukuran moral yang dibuat berdasarkan otoritas. Anak tidak
melanggar aturan moral karena takut ancaman atau hukuman dari otoritas. Tingkat
ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, tahap orientasi terhadap kepatuhan dan
hukuman. Pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan itu
ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus
menurut, atau kalau tidak, akan mendapat hukuman. Kedua, tahap relativistik
hedonisme. Pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan
yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain yang memiliki otoritas.
Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung
pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).
b.
Tingkat
II: Konvensional. Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama
agar diterima dalam kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.
Pertama, tahap orientasi mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai
memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat
dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu
dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima orang
lain atau masyarakat. Kedua, tahap mempertahan-kan norma sosial dan otoritas.
Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat
diterima oleh lingkungan masyarakat sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar
dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/nilai sosial yang ada sebagai
kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
c. Tingkat III: Pasca-konvensional. Pada
tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya.
Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.
Pertama, tahap orientasi terhadap
perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan
timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang
mentaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga
keserasian hidup bermasyarakat. Kedua, tahap universal. Pada tahap ini selain
ada norma pribadi yang bersifat subjektif, ada juga norma etik (baik/buruk,
benar/salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu
perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Teori
perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan
bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang
diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata.
Tetapi juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan
berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkungannya. Selain teori perkembangan moral, dalam
mempelajari pola perkembangan moral yang berkaitan dengan ketaatan akan suatu
aturan yang berlaku universal, perlu dibahas mengenai disiplin. Disiplin
berasal dari kata ”disciple” yang berarti seorang yang belajar dari/atau secara
sukarela mengikuti seorang pemimpin. Disiplin diperlukan untuk membentuk
perilaku yang sesuai dengan aturan dan peran yang ditetapkan dalam kelompok
budaya tempat orang tersebut menjalani kehidupannya. Melalui disiplin, anak
belajar untuk bersikap dan berperilaku yang baik seperti yang diharapkan oleh
masyarakat lingkungannya.
Disiplin
dapat ditanamkan secara otoriter melalui pengendali-an perilaku dengan menggunakan
hukuman, secara permisif/laissezfaire melalui kebebas-an yang diberikan kepada
anak tanpa adanya hukuman, atau secara demokratis melalui penjelasan, diskusi,
dan penalaran mengenai aturan yang berlaku.
Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai berikut.
1. Peraturan
sebagai pola yang ditetapkan untuk perilaku di mana anak hidup, mempunyai nilai
pendidikan tentang arah yang harus diikuti dan ditaati anak, dan juga membantu
mengekang perilaku yang tidak
diinginkan.
2. Hukuman
diberlakukan apabila anak melakukan kesalahan ataupun bertindak yang tidak
sesuai dengan nilai/norma yang berlaku dalam masyarakat. Hukuman dapat
menghalangi anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan,
mendidik anak untuk belajar dari pengalaman, dan memotivasi anak untuk
menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
3. Penghargaan
diberikan apabila anak melakukan sesuatu yang sesuai dengan norma/nilai yang
berlaku, mendidik dan memotivasi anak untuk mengulangi perilaku yang baik dan
benar sesuai harapan masyarakat.
4. Konsistensi
atau keajegan dalam melaksanakan aturan dan disiplin sehingga tidak
membingungkan anak dalam mempelajari sesuatu yang benar/salah atau baik/buruk.
Disiplin bermanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap perilaku,
menimbulkan kepekaan akan sikap perilaku yang baik, benar, dan adil, serta mempengaruhi
kepribadian anak di mana sikap perilaku disiplin merupakan bagian yang
terinternali-sasi pada anak secara keseluruhan.
3. Faktor dan Cara
Mempelajari Sikap Moral
Ada
sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan moral anak (Hurlock,
1990). 1. Peran hati nurani atau
kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila anak dihadapkan
pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan yang harus
dilakukan. 2. Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan
berperilaku tidak seperti yang diharapkan dan melanggar aturan. 3. Peran
interaksi sosial dalam memberi kesempatan pada anak untuk mempelajari dan
menerapkan standar perilaku yang disetujui dalam masyarakat, keluarga, sekolah,
dan dalam pergaulan dengan orang lain.
Sikap
dan perilaku moral dapat dipelajari dengan cara berikut.
1. Belajar
melalui coba-ralat (trial and error). Anak mencoba belajar mengetahui apakah
perilakunya sudah memenuhi standar sosial dan persetujuan sosial atau belum.
Bila belum, maka anak dapat mencoba lagi sampai suatu ketika secara kebetulan
dapat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan.
2. Pendidikan
langsung yang dilakukan dengan cara anak belajar memberi reaksi tertentu secara
tepat dalam situasi tertentu, serta dilakukan dengan cara mematuhi peraturan
yang berlaku dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar.
3. Identifkasi
dengan orang yang dikaguminya. Cara ini biasanya dilakukan secara tidak sadar
dan tanpa tekanan dari orang lain. Yang penting ada teladan dari orang yang
diidentifikasikan untuk ditiru perilakunya.
Pendidikan
saat ini umumnya mempersiapkan peserta didik memiliki banyak pengetahuan,
tetapi tidak tahu cara memecahkan masalah tertentu yang dihadapi dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Pendidikan lebih mempersiapkan peserta
didik untuk menjadi anak yang pandai dan cerdas, tetapi kurang mempersiapkan
peserta didik untuk menjadi anak yang baik. Masalah berkenaan dengan baik dan
buruk menjadi kajian bidang moral. Demikian juga dalam mengembangkan aspek
moral peserta didik berarti bagaimana cara membantu peserta didik untuk menjadi
anak yang baik, yang mengetahui dan berperilaku atau bersikap berbuat yang baik
dan benar. Sikap dan perilaku moral dapat dikembangkan melalui pendidikan dan
penanaman nilai/norma yang dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran maupun
kegiatan yang dilakukan anak di keluarga dan sekolah. Pendidikan bukan hanya
mempesiapkan anak menjadi manusia cerdas, tetapi juga menjadi manusia yang
baik, berbudi luhur, dan berguna bagi orang lain.
B.
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Kepribadian
merupakan suatu kesatuan psikofisik yang bersifat dinamis dan menjadi
karakteristik yang melekat pada seseorang yang membedakannya dengan orang lain.
Perkembangan kepribadian merupakan topik yang akan kita kaji pada subunit
4 ini, dan sekaligus menjadi bagian
akhir dari pembahasan mengenai aspek-aspek perkembangan peserta didik. Pada
subunit ini, Anda akan mempelajari pengertian
kepribadian, termasuk konsep diri, teori
mengenai bermacam tipe kepribadian, faktor-faktor yang mempengaruhi
kepribadian, dan kesehatan mental pada peserta didik didik usia SD/MI.
1.
Pengertian Kepribadian
Istilah
kepribadian atau personality berasal
dari kata Latin ”persona” yang berarti topeng. Pada bangsa Yunani kuno, para
aktor memakai topeng untuk menyembunyikan identitas mereka dan memungkinkan
mereka memerankan tokoh dalam drama. Demikian juga pada bangsa Roma, ”persona”
berarti bagaimana seseorang tampak pada orang lain.
Dalam
kehidupan sehari-hari terdapat beberapa
penggunaan istilah kepribadian. Diantaranya, kepribadian sebagai sesuatu
yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang; kepribadian merupakan pengaruh
seseorang terhadap orang lain; ada kepribadian yang menarik dan yang
membosankan; kepribadian semata-mata faktor jasmaniah atau semata-mata hasil
dari kebudayaan dan kepribadian merupakan sejumlah sifat seseorang.
Memang
cukup banyak pengertian dan pengunaan istilah kepribadian. Saat ini definisi
pengertian kepribadian kebanyakan
mengikuti definisi yang dikemukakan oleh Allport (Sukmadinata, 2003). Menurut
Allport ”personality is the dynamic organization within the individual of those
psychophysical systems that determine his unique adjustment with the
enviroment.” Kepribadian merupakan suatu
organisasi yang merujuk kepada suatu kondisi atau keadaan yang kompleks dan
mengandung banyak aspek.
Kepribadian
bersifat dinamis, tidak statis,
melainkan berkembang secara terbuka sehingga manusia senantiasa berada dalam
kondisi perubahan dan perkembangan. Kepribadian meliputi aspek fisik dan psikis
yang saling mempengaruhi dan membentuk satu kesatuan. Kepribadian selalu dalam
penyesuaian diri yang unik dengan lingkungannya dan berkembang bersama-sama
dengan lingkungannya, serta menentukan jenis penyesuaian yang akan dilakukan
anak, karena tiap anak mempunyai pengalaman belajar yang berbeda satu dengan
lainnya.
Dalam
perkembangan kepribadian, konsep diri dan sifat-sifat seseorang merupakan hal
atau komponen penting. Konsep diri merupakan konsep, persepsi, maupun gambaran
seseorang mengenai dirinya sendiri, atau sebagai bayangan dari cermin diri.
Konsep diri seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh peran dan hubungan-nya
dengan orang lain, serta reaksi orang lain terhadap dirinya. Konsep diri ideal
merupakan gambaran seseorang mengenai penampilan dan kepribadian yang
didambakannya.
Setiap
konsep diri mempunyai aspek fisik dan psikis. Aspek fisik konsep diri merupakan
konsep yang dimiliki seseorang berkenaan dengan penampilannya, dan
kesesuaiannya dengan peran seks yang disandangnya. Aspek psikis berkenaan
dengan kemampuan dan ketidakmampuan dirinya, harga diri, dan hubungannya dengan
orang lain. Sifat merupakan kualitas perilaku atau pola penyesuaian yang
spesifik. Misalnya, reaksi seseorang
terhadap masalah dan frustrasi, perilaku agresif dan defensif, perilaku terbuka
dan tertutup ketika berinteraksi dengan orang lain. Ciri sifat tersebut ada yang
terpisah dan ada yang terintegrasi dengan konsep diri. Sifat juga mempunyai dua
ciri menonjol yaitu: (1) individualitas yang diperlihatkan dalam kuantitas ciri
tertentu dan bukan kekhasan ciri bagi orang lain; serta (2) konsistensi yang
berarti seseorang bersikap dengan cara yang hampir sama dalam situasi dan
kondisi yang serupa. Konsep diri merupakan inti kepribadian yang mempengaruhi
berbagai sifat yang menjadi ciri khas kepribadian seseorang.
2.
Macam Tipe Kepribadian
Walaupun
setiap orang/anak memiliki kepribadian tersendiri, namun para ahli tetap
berusaha untuk menyederhanakan dan mengelompokan sifat-sifat yang memiliki
beberapa kesamaan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa macam tipologi
kepribadian. Tipologi kepribadian yang tertua bersifat jasmaniah atau fisik
seperti dikemukakan oleh Hippocrates dan
Galenus, yang mengembangkan tipologi kepribadian berdasarkan cairan tubuh yang
menentukan temperamen seseorang. Menurut mereka ada empat macam kepribadian.
a.
Tipe
kepribadian choleric (empedu kuning), yang dicirikan dengan pemilikan temperaman
cepat marah, mudah tersinggung, dan tidak sabar.
b.
Tipe
melacholic (empedu hitam), yang berkaitan dengan pemilikan temperamen pemurung,
pesimis, mudah sedih dan mudah putus asa.
c.
Tipe
phlegmatic (lendir), yang bertemperamen yang serba lamban, pasif, malas, dan
kadang apatis/masabodoh.
d.
Tipe
sanguinis (darah), yang memiliki temperamen dan sifat periang, aktif, dinamis,
dan cekatan.
Tipologi
yang dibuat Kretchmer dan Sheldon juga bersifat jasmaniah, yakni bentuk tubuh.
Mereka membagi tipe kepribadian atas tiga macam.
a. Tipe
asthenicus atau ectomorphic pada orang-orang yang bertubuh tinggi kurus, memiliki sifat dan
kemampuan berpikir abstrak dan kritis, tetapi suka melamun dan sensitif.
b. Tipe
pycknicus atau endomorph pada orang yang bertubuh gemuk pendek, memiliki sifat
periang, suka humor, populer dan mempunyai hubungan sosial luas, banyak teman,
dan suka makan.
c. Tipe
athleticus atau mesomorphic pada orang yang bertubuh sedang/atletis, memiliki
sifat senang pada pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik, pemberani,
agresif, mudah menyesuaikan diri).
Namun
demikian, dalam kenyataannya lebih banyak manusia dengan tipe campuran
(dysplastic). Tipologi kepribadian yang bersifat psikis di antaranya
dikemukakan oleh Jung, yang mengelompokan kepribadian berdasarkan kecenderungan
hubungan sosial seseorang. Ia membagi kepribadian ke dalam dua tipe, yaitu: (1)
tipe ekstrovert yang perhatiannya lebih
banyak tertuju ke luar, dan (2) tipe introvert yang perhatiannya lebih tertuju
ke dalam dirinya, dan dikuasai oleh nilai-nilai subjektif. Tetapi, umumnya
manusia mempunyai tipe campuran atau kombinasi antara ekstrovert dan introvert
yang disebut ambivert. Spranger mengemukakan tipologi kepribadian berdasarkan
kecenderungan seseorang akan nilai-nilai dalam kehidupan. Menurutnya ada enam
tipe kepribadian yaitu: tipe teoretik, economi, aestetic, sociatic, politic dan religius. Sementara
itu, Erich Fromm membagi dua tipe kepribadian manusia yaitu: (1) tipe berorientasi produktif, yang memiliki
pandangan realistis dan mampu melihat segala sesuatu dengan kelebihan dan
kekurangannya, serta mengatasi masalah dengan kerjasama dengan orang lain;
serta (2) tipe berorientasi tidak produktif, yang mengambil bentuk menjadi tipe
penerima (reseptif), pemeras (eksploitasi), tertutup, dan pribadi pasar yang melihat kekuatan ada di
dalam dirinya dan memanfaatkannya dengan memasarkan apa yang dimilikinya
sesuai dengan kebutuhan pasar.
Pada
periode anak sekolah, kepribadian anak belum terbentuk sepenuhnya seperti pada
orang dewasa. Kepribadian mereka masih dalam proses pengembangan. Namun
demikian, karakteristik anak secara sederhana dapat dikelompokan atas: (1)
kelompok anak yang mudah dan menyenangkan, (2) anak yang biasa-biasa saja, dan
(3) anak yang sulit dalam penyesuaian diri dan sosial, khsususnya dalam
melakukan kegiatan pembelajaran di sekolah.
3.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Kepribadian
Studi
mengenai perkembangan pola kepribadian mengungkapkan bahwa ada tiga faktor yang
menentukan perkembangan kepribadian sesorang termasuk peserta didik usia SD/MI.
1. Faktor
bawaan, termasuk sifat-sifat yang diturunkan secara genetik dari orang tua
kepada anaknya, misalnya sifat sabar anak dikarenakan orang tuanya juga
memiliki sifat sabar. Demikian juga, wawasn sosial anak dipengaruhi oleh
tingkat kecerdasannya
2. Pengalaman
awal dalam lingkungan keluarga ketika anak masih kecil. Pengalaman itu
membentuk konsep diri primer yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian
anak dalam mengadakan penyesuaian diri dan sosial pada perkembangan kepribadian
periode selanjutnya.
3. Pengalaman
kehidupan selanjutnya dapat memperkuat konsep diri dan dasar kepribadian yang
sudah ada, atau karena pengalaman yang sangat kuat sehingga mengubah konsep
diri dan sifat-sifat yang sudah
terbentuk pada diri seseorang.
Pada
perkembangan kepribadian anak, tidak ada kepribadian dan sifat-sifat anak yang
benar-benar sama. Tiap anak adalah individu yang unik dan mempunyai pengalaman
belajar dalam penyesuaian diri dan sosial yang berbeda secara pribadi. Selain
itu, hal penting dalam perkembangan kepribadian adalah persistensi atau
ketetapan dalam pola kepribadian. Artinya, terdapat kecenderungan bagi beberapa
ciri sifat kerpibadian yang menetap dan relatif tidak berubah sehingga mewarnai
perilaku seseorang secara khusus. Persistensi dapat disebabkan oleh kondisi
bawaan anak, pendidikan yang dialami/ diterima anak, nilai-nilai orang tua dan
lingkungan kelompok teman sebaya, serta peran dan pilihan anak ketika
berinteraksi dengan lingkungan sosial.
Persistensi
diperlukan karena dapat menjadi landasan yang kuat, yang dapat menjamin
penyesuaian anak. Mereka dapat segera mengetahui dan bertindak dengan cepat dan
tepat apabila ada perkembangan kepribadian yang agak menyimpang. Perubahan
dapat saja terjadi karena perubahan fisik yang pesat, perubahan lingkungan dan
tekanan sosial, tuntutan kehidupan,
perubahan peran, serta bantuan profesional untuk mengubah konsep diri yang
negatif dan merugikan.
Sehubungan
dengan perkembangan kepribadian, perlu dijaga dan dikondisikan agar terbangun
mental yang sehat. Kesehatan mental memiliki tiga komponen utama.
1. Memiliki rasa
diri berharga sebagai landasan bagi penerimaan diri dan bekal untuk menerima
orang lain, serta mendapat gambaran dirinya secara positif sehingga dapat
menggunakan kemampuan dan kecakapannya untuk dirinya sendiri dan orang lain.
2. Merasa puas
akan perannya dalam kehidupan di keluarga, sekolah, dan masyarakat sehingga ia
merasa diterima dan puas dengan perannya
tersebut.
3. Terjalin
hubungan yang baik dengan orang lain sehingga dapat bekerja sama.
Kesehatan
mental seseorang hampir seluruhnya tercipta berkat interaksinya dengan
lingkungan di sekitar anak. Namun, ketidaksehatan mental mungkin berawal dari
individu anak ataupun lingkungannya. Agar tercipta kesehatan mental, perlu
diciptakan lingkungan sosio-psikologis yang sehat dan wajar, menciptakan
interaksi dengan anak yang didasari kasih sayang dan penghargan anak sebagai
individu, memelihara kesehatan fisik anak sehingga dapat mengikuti berbagai
aktivitas belajar dan bermain, menciptakan dan memotivasi anak untuk melakukan
berbagai kegiatan yang sesuai dengan usia,
minat dan bakatnya. Lingkungan yang
sehat bukan saja akan menularkan kesehatan mental, tetapi juga menjadi contoh
bagi anak-anak untuk hidup dan berkembang secara sehat.
RANGKUMAN
Moral
berarti perilaku yang sesuai dengan peraturan perilaku mengenai baik/buruk,
benar/salah yang telah menjadi kebiasaan dan harapan suatu masyarakat.
Mempelajari perkembangan moral bermanfaat untuk membantu peserta didik
mengembangkan sikap moral yang dikehendaki, serta mendidiknya menjadi anak yang
baik dan bersikap moral baik dan benar.
Perkembangan
moral menurut Kohlberg ada tiga tingkat dengan enam tahap yaitu tingkat
praoperasional dengan tahap orientasi pada kepatuhan/hukuman dan relativistik,
tahap konvensional dengan tahap orientasi mengenai anak baik dan mempertahankan
norma sosial/otoritas, serta tingkat paska konvensional dengan tahap orientasi
perjanjian diri dengan lingkungan dan tahap universal.
Faktor
yang mempengarahi perkembangan moral antara lain: peran hati nurani, peran rasa
malu dan bersalah, peran interaksi sosial. Sikap dan perilaku moral dapat
dipelajari dengan cara coba dan ralat, pendidikan langsung, identifikasi.
Kepribadian
merupakan suatu organisasi psikofisik yang dinamis ketika individu berinteraksi
dan melakukan penyesuaian dengan
lingkungannya. Pada kepribadian melekat sifat atau temperamen sebagai kualitas
perilaku atau pola penyesuain yang spesifik pada diri seseorang. Di dalam
kepribadian juga terdapat konsep diri, yaitu persepsi/gambaran seseorang
mengenai dirinya sendiri, dan menjadi inti kepribadian karena menentukan sikap
seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Ada konsep diri ideal yaitu
konsep diri yang didambakan, konsep diri primer yang terbentuk ketika masih
kecil.
Tipologi
kepribadian dapat dikelompokkan atas: (1) tipologi yang bersifat fisik seperti
tipe choleric-melancholic-phlegmatic-sanguinis,
asthenicus-pycknicus-athleticus, ectomorf- endomorf-mesomorf; serta (2)
tipologi yang bersifat psikis seperti tipe ekstrovert-introvert, dan
berorientasi produktif-tidak produktif.
Faktor
yang mempengaruhi perkembangan kepribadian antara lain: kepercayaan diri
berharga, kepuasan akan perannya, hubungan dengan orang lain.
Kesehatan mental
perlu diciptakan melalui penciptaan lingkungan sosialpsikologis yang kondusif
agar kepribadian anak secara keseluruhan berkembang secara sehat dan wajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Kurnia Inggridwati, dkk,
2008. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jakarta : DIREKTORAT
JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
0 komentar:
Posting Komentar